Saturday, July 28, 2007

MENIMBANG PARPOL, KAMPANYE, DAN PEMILU

Oleh Nida’ Khayr Abdurrahman


Partai adalah kelompok manusia yang memiliki pemikiran tertentu, memiliki ikatan antar anggotanya serta mempunyai seorang pemimpin yang memimpin kelompok tersebut. Ikatan mereka sendiri terbentuk dari ideologi dan sejumlah pemikiran—baik pemikiran administratif maupun pemikiran berkaitan ilmu sistem (an-nizhâm) dan derivatnya yang diadopsi bersama oleh setiap anggota—serta tujuan yang hendak diwujudkan melalui aktivitas jamaah.

Politik itu sendiri adalah pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat, baik dalam maupun luar negeri. Pengaturan dan pemeliharaan itu dilakukan dengan serangkaian aturan dan sistem. Jika politik menjadi sifat partai yang menyifati partai secara keseluruhan dan menjadi aktivitas utamanya maka partai itu merupakan partai politik yang sesungguhnya. Dengan demikian, parpol Islam adalah partai politik yang seluruh ide dan pemikirannya—mulai dari pemikiran mendasar (akidah), pemikiran cabang (aturan dan sistem), sampai pemikiran dalam tataran teknik operasional—bersumber dari Islam.

Dalam wacana al-Quran, partai (al-hizb) disebutkan dua kategori, yaitu partai (golongan) Allah (Hizbullâh) dan partai (golongan) setan (hizb asy-syaythân). Penyebutan al-Quran dengan dua term ini bukan dari sisi nama, tetapi dari sisi sifat, karena penyebutan kedua term ini diikuti oleh penjelasan karakter masing-masing kategori partai. Mereka yang termasuk hizb asy-syaythân adalah setiap orang atau kelompok (partai) yang telah dikuasai oleh setan dan setan menjadikan mereka lupa mengingat Allah. Mereka menjadikan kaum yang dimurkai oleh Allah sebagai teman; mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi manusia dari jalan Allah. Setan menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah, dan mereka termasuk orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.

Dengan demikian, partai setan adalah partai yang durhaka, membangkang, menyalahi kebenaran dan tuntutan dari Allah, mengkampanyekan kemaksiatan (setiap bentuk penyelewengan dari ketentuan Allah), dan menyeru manusia (umat) untuk berpaling dari jalan Allah. Di dalamnya termasuk pula partai yang menyerukan ide dan aturan (sistem) kufur.

Sebaliknya, yang termasuk Hizbullâh adalah mereka tidak berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, siapapun mereka; yaitu mereka yang mendorong manusia mengambil jalan Allah, mengajak pada ketaatan, serta menyerukan risalah aturan dan sistem yang diturunkan dari sisi-Nya untuk mengatur dan menyelesaiakan setiap problem manusia.

Dari sini kita dapat menyimpulkan, bahwa partai Allah (partai Islam) adalah partai yang berasaskan akidah Islam serta mengambil dan menetapkan ide-ide hukum-hukum dan pemecahan yang Islami. Metode operasionalnya adalah metode (tharîqah) Rasulullah.

Dengan demikian, justifikasi partai bukanlah dengan nama, tetapi kesesuaiannya dengan asas, karakter, dan aktivitas partai.

Kampanye Partai

Kampanye partai di negeri ini mulai menghangat menjelang Pemilu. Pasca Pemilu kampanye melemah dan nyaris berhenti. Terlihat bahwa kampanye partai dilakukan dalam rangka Pemilu saja. Dengan begitu, kampanye partai tersebut sarat dengan kepentingan sesaat partai, yaitu untuk pemenangan Pemilu. Dalam hal ini, menang Pemilu menjadi standar. Apalagi kampanye itu masih dalam bingkai sistem perpolitikan yang mengartikan politik sebagai segala hal-ihwal yang terkait dengan kekuasaan serta bagaimana memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya. Lahirlah kemudian materi kampanye yang melambungkan harapan umat akan kesejahteraan, kemakmuran, pemerintahan yang bersih, dan segudang kebaikan lainnya. Setelah kampanye, slogan-slogan itu pun tinggal kenangan. Nasib rakyat tetap menderita.

Akhirnya, rakyat menilai keberadaan parpol tidak membawa kemaslahatan bagi mereka. Hasil jajak pendapat Kompas memperlihatkan bahwa 74% responden yang berasal dari kota-kota besar di Indonesia menilai sejauh ini kegiatan kampanye tidak bermanfaat bagi kepentingan mereka, melainkan hanya menguntungkan segelintir elit parpol semata. (Kompas, 3/11/2003).

Aura primordialisme juga menjadi sangat kental, karena iklim kampanye yang tercipta bukanlah iklim saling mendukung, tetapi iklim persaingan di belantara kebebasan. Ketegangan antara pengurus partai dan bentrokan antar massa pendukung partai pun tidak jarang menjadi konsukuensi yang tidak terhindarkan.

Dalam bingkai sistem kapitalis dengan sistem politik demokrasi, partai yang vis a vis dengan demokrasi dan ideologi kapitalis dimarjinalisasi dan diberangus. Akhirnya, dalam Pemilu, hanya partai yang mengemban demokrasi atau minimal tidak mempermasalahkan demokrasi saja yang mendapat ruang. Akibatnya, kampanye partai di negeri ini dipenuhi dengan seruan ide kapitalisme, demokrasi, HAM, kebebasan, pluralisme dan ide sejenis. Partai-partai Islam pun merasa tidak afdhal kalau tidak menghiasai kampanyenya dengan seruan tersebut. Seruan Islam akhirnya dibingkai dengan demokrasi, HAM, kebebasan, pluralisme, dsb.. Padahal, semua itu justru berseberangan secara diametral dengan Islam.

Kampanye Islami

Al-Quran memberikan petunjuk mengenai kampanye yang seharusnya dilakukan dan diemban oleh partai. Allah menegaskan dalam firman-Nya:

]وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ[

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan Islam, memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran. (QS Ali ‘Imran [03]: 104).

Dengan merujuk pada ayat tersebut, maka kampanye partai tersusun dalam dua format kampanye:

Pertama, yad’ûna ilâ al-Khayr (menyerukan kebaikan), yakni Islam. Hal ini tentu tidak hanya sekadar mengkampanyekan nilai-nilai moral Islam, tetapi mengkampanyekan Islam secara keseluruhan—akidah Islam dan serangkaian aturan (sistem) Islam. Kampanye berupa seruan pada Islam ini, agar tidak bersifat semu, haruslah berupa kempanye menuju penerapan Islam secara keseluruhan. Tanpa itu, kampanye hanya akan menjadi pemberian informasi tentang Islam. Sebab, kampanye bukan hanya memberi informasi, tetapi mengandung unsur menyeru, mengajak, meyakinkan, dan menuntun masyarakat agar mengadopsi, mengemban, menerapkan, dan memberikan loyalilitas pada Islam; juga memuat aktivitas menyingkap keburukan selain Islam serta membantah dan meruntuhkan arumentasinya—misalnya terhadap kapitalisme, demokrasi, kebebasan, pluralisme, HAM, dan sebagainya.

Kedua, ya‘murûna bi al-ma‘rûf wa yanhawna ‘an al-munkar (memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran). Kemakrufan adalah segala yang dimakrufkan oleh Islam, yaitu segala yang di wajibkan, dianjurkan, atau yang dibolehkan oleh Islam. Sebaliknya, kemungkaran adalah segala hal yang menyalahi syariat. Partai harus mengkampanyekan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Sebagai bagian dari aktivitas ini dan yang terpenting adalah mengoreksi penguasa.

Kedua format kampanye inilah yang seharusnya diadopsi dan dilakukan oleh parpol yang ada, bukan format kampanye yang hanya berupa janji-janji palsu, slogan-slogan tanpa makna yang samar dan kabur dari gambaran penerapannya; juga bukan format kampanye ideologi, pemikiran, aturan, dan sistem kufur yang notabene bertentangan dengan Islam. Kampanye seperti ini hanya akan mengantarkan umat pada keterbuaian dengan mimpi-mimpi dan harapan yang sia-sia, yang akan mengembalikan mereka pada kekecewaan dan penderitaan yang berulang-ulang tanpa henti. Adakah parpol seperti ini ? sulit menemukannya.

.

Meluruskan Kepedulian

Merujuk ayat 104 surat Ali Imran di atas maka hendaknya kita secara jeli melihat kampanye setiap partai untuk dianalisis dan dinilai mana yang memenuhi format kampanye yang seharusnya menurut al-Quran.

Kepada parpol yang memenuhi kedua kriteria inilah (karakter kepartaian: asas, karakter, dan aktivitas; dan kriteria kampanye) yang layak mendapatkan kepedulian bahkan dukungan dan loyalitas. Sebaliknya, yang tidak memenuhi kriteria tersebut, tidak layak mendapatkannya bahkan harus di luruskan, ditentang, dan dibantah. []

No comments: