Thursday, July 5, 2007

From kantor Jubir HTI

KANTOR JURUBICARA HIZBUT TAHRIR INDONESIA

Nomor: 116/PU/E/06/07; Jakarta, 27 juni 2007 M

PERNYATAAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA
TENTANG

Dukungan Terhadap Komisi I DPR RI untuk Menolak DCA
(Defence Cooperating Agreement)

Akhirnya Komisi I DPR RI dengan tegas menolak Perjanjian Kerjasama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) dengan Singapura. Perjanjian ini memang lebih tepat disebut perjanjian untuk memberikan hak latih bagi militer Singapura di wilayah Indonesia yang membentang antara Pulau Natuna Besar dan Kepulauan Anambas mengingat tidak satupun klausul yang membolehkan TNI berlatih di wilayah Singapura. Selama bertahun-tahun Singapura, negara kecil yang tidak memiliki area latih itu, terpaksa harus menyewa di sejumlah negara dengan harga yang sangat mahal. Dengan adanya perjanjian dengan Indonesia, Singapura tentu tidak perlu repot-repot lagi menyewa area untuk latihan militernya, karena Indonesia telah menyediakannya secara gratis.

Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa dalam penggunaan wilayah latihan itu (laut dan udara), Singapura bahkan bisa mengikutsertakan pihak ketiga, meski dengan terlebih dulu meminta izin Indonesia. Masalahnya adalah jika pihak ketiga itu adalah AS yang memang telah lama ingin berperan di wilayah ini. Dengan posisi pemerintah Indonesia terhadap tekanan AS selama ini terbukti sangat lemah bahkan tidak berdaya – sehingga tidak kuasa menolak permintaan itu, maka perjanjian itu praktis akan menjadi alat legitimasi untuk masuknya militer AS ke wilayah Indonesia dengan kedok latihan militer bersama. Memang, melalui perjanjian ini Indonesia dimungkinkan dapat ‘menikmati’ fasilitas militer Singapura. Namun, tentu hal itu tidak sebanding dengan bahaya keterlibatan pihak ketiga seperti AS di wilayah ini karena kehadiran AS di wilayah ini tentu mengancam kedaulatan Indonesia.

Apalagi telah lama diketahui, bahwa AS memiliki ambisi politik di kawasan Asia Tenggara. Berbagai upaya telah dilakukan AS. Diantaranya, pernah menawarkan diri untuk membangun pangkalan militer di kawasan Thailand Selatan dengan dalih ingin membantu menghancurkan gerakan militan Islam yang makin intens melakukan gerakan di wilayah Pattani yang memang didominasi muslim. Upaya AS untuk menghadirkan armada militer di kawasan itu tentu saja merupakan bagian dari grand strategy AS untuk mengontrol kawasan Asia Tenggara yang memang sangat strategis baik secara militer, politik maupun ekonomi. Namun, Malaysia dan Indonesia menolak rencana itu karena kedua negara tegas menentang setiap kehadiran militer asing manapun di Selat Malaka. Karenanya, AS yang telah melakukan kerjasama militer yang kuat dengan Filipina dan Thailand mencoba cara lain. Yakni lewat pemerintah Singapura, melalui perjanjian kerjasama pertahanan yang baru saja ditandatangani itu.

Oleh karena itu, penandatangan kerjasama pertahanan RI-Singapura alih-alih menguntungkan Indonesia, tetapi malah akan semakin menguatkan cengkeraman AS di kawasan Asia Tenggara, dan terhadap Indonesia khususnya. Jika demikian, berarti Indonesia telah secara sadar memberi jalan bagi masuknya kekuatan militer asing ke dalam wilayah Indonesia meski dalam area yang terbatas.

Berkenaan dengan hal itu, maka Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

  1. Mendukung sikap Komisi I DPR RI yang menolak perjanjian ini sebagai bagian dari kewajiban untuk melakukan muhasabah (kontrol) kepada pemerintah, yang memang diwajibkan oleh syariah. Selanjutnya Hizbut Tahrir Indonesia menyerukan kepada DPR RI tidak meratifikasi perjanjian itu, karena jelas berpotenti mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia.
  2. Menyerukan kepada para anggota DPR khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya untuk terus mencermati berbagai kecenderungan yang terjadi akhir-akhir ini yang makin menunjukkan ketundukan pemerintah RI terhadap kekuatan asing, mulai dari penyererahan blok kaya minyak di Cepu, pembiaran Exxon Mobil di blok kaya gas Natuna meski kontrak 25 tahun tanpa produksi sudah habis Januari 2007, hingga dukungan RI terhadap resolusi DK PBB Nomer 1747 tentang sanksi terhadap Iran dan perjanjian DCA dengan Singapura ini. Kecenderungan seperti ini jelas sangat berbahaya karena akan makin membawa Indonesia ke dalam arus kepentingan asing yang jelas akan membahayakan Indonesia kini dan masa datang.
  3. Sesungguhnya alasan utama perjanjian ini, selain paket perjanjian ekstradisi, adalah iming-iming penggunaaan peralatan militer Singapura yang canggih, karena keterbatasan peralatan militer Indonesia. Ini berarti perjanjian ini dibangun dengan logika ketidakmapuan Indonesia dan ketergantungannya kepada pihak asing. Logika pragmatis seperti ini tentu berbahaya. Padahal seharusnya, dengan sumber daya alam dan manusia yang melimpah, justru Indonesia mampu membangun industri berat, termasuk industri militer tercanggih sekalipun. Tetapi, semuanya itu disia-siakan, malah memilih jalan pintas, yang justru bisa mengorbankan kepentingan negeri dan rakyatnya sendiri.
  4. Karena itu, hanya dengan Khilafah yang menerapkan syariah, negeri ini benar-benar akan berdaulat, bebas dari penjajahan dan mempunyai kekuatan pertahanan dan militer yang tangguh. Karena, hanya sistem syariahlah yang bisa menjamin pemanfaatan sumber daya alam dan manusia yang melimpah demi kemaslahatan negeri dan rakyatnya.


Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net

Gedung Anakida Lantai 7
Jl. Prof. Soepomo Nomer 27, Jakarta Selatan 12790
Telp / Fax : (62-21) 8353253 Fax. (62-21) 8353254
Email : info@al-islam.or.id Websiite : http://www.al-islam.or.id/www.hizbut-tahrir.or.id

No comments: