Thursday, July 5, 2007

Al islam terbaru

BULETIN AL-ISLAM EDISI 362

Sebagaimana dimaklumi, ada dua peristiwa cukup mencolok mata dalam pekan-pekan terakhir ini, yang kedua-duanya terkait dengan gerakan separatisme. Pertama: peristiwa pengibaran bendera organisasi RMS (Republik Maluku Selatan) oleh sejumlah aktivisnya persis di hadapan Presiden SBY di tengah-tengah acara puncak Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XIV, yang dipusatkan di Lapangan Merdeka, Ambon, Jumat pagi (29/06). Diberitakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan dapat memaklumi adanya penyusupan acara lain di luar jadwal dalam Peringatan Hari Keluarga Nasional Ke-14 di Ambon, Jumat (29/6). Namun, toleransi tidak diberikan jika acara susupan itu memiliki tujuan separatisme yang mengoyak bangunan NKRI. Di Jakarta, Wapres Jusuf Kalla juga menilai aksi aktivis RMS itu sebagai bentuk pelanggaran yang harus dikenai tindakan hukum. Namun, menurut Wapres, kasus itu tidak akan berdampak besar. (Kompas.com, 30/07).

Kedua: peristiwa pengibaran bendera organisasi OPM (Organisasi Papua Merdeka) oleh sejumlah aktivisnya yang dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Abepura, Papua, dalam rangka HUT OPM (1 Juli 1969-2007). (Antara.co.id, 01/07/07).

Masih aktifnya gerakan separatisme di Indonesia jelas menimbulkan pertanyaan tersendiri: Mengapa gerakan separatisme muncul? Mengapa pula gerakan tersebut seolah sulit ditumpas?


Antara Separatisme dan Terorisme

Dari sudut pandang Pemerintah, tampaknya ada kesamaan antara kasus separatisme dan terorisme yang dalam beberapa waktu terakhir mencuat kembali, yakni sama-sama berbahaya. Dari sisi politik, separatisme dan terorisme juga disinyalir sama-sama kental dengan nuansa campur tangan asing. Dalam kasus terorisme, perang terhadap terorisme di Indonesia tidak lepas dari War on Terrorism yang dikumandangkan AS dan sekutunya untuk memperlemah Islam dan kaum Muslim. Adapun dalam kasus separatisme di Indonesia—seperti GAM, RMS dan OPM—keterlibatan pihak asing, seperti AS dan Australia, tidak terlepas dari kepentingan mereka untuk memecah-belah NKRI dalam rangka menguasai sumberdaya alam negeri ini yang sangat kaya. Masih segar dalam benak kita bagaimana peran aktif Australia dalam kasus lepasnya Timor-Timur dari pangkuan NKRI. Belakangan diketahui bahwa motif utama Australia dalam mensponsori kemerdekaan Timor Timur adalah Celah Timor yang ditengarai kaya akan minyak.

Sayang, meski sama-sama dianggap berbahaya, dan sama-sama melibatkan pihak asing, penanganan Pemerintah terhadap kedua kasus tersebut sangat berbeda. Jika dalam kasus tindak terorisme Pemerintah begitu sigap dan cenderung proaktif, terutama dalam menangkap para tersangka yang kebetulan semuanya Muslim, maka dalam kasus-kasus separatisme Pemerintah seperti lembek dan tidak berdaya. Dalam kasus terakhir ini, setidaknya hal itu didasarkan pada penilaian Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dien Syamsuddin. Ia menilai aksi pengibaran bendera RMS oleh “penari cakalele” di depan Presiden SBY itu merupakan kesalahan Pemerintah. Menurutnya, Pemerintah selama ini tidak bertindak tegas terhadap RMS. Menurut Dien, jika Pemerintah tetap melakukan pendekatan dengan cara yang halus dan penuh toleran, tidak mustahil RMS akan terus berkembang dan mengancam sendi-sendi keutuhan nasional, bahkan tidak menutup kemungkinan akan tumbuh gerakan separatis lainnya di Indonesia. (Tempointeraktif.com, 30/06/07).


Akar Masalah Separatisme

Jika dicermati, munculnya berbagai gerakan separatis di Indonesia seperti GAM di Aceh, RMS di Maluku dan OPM di Papua lebih disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi yang dirasakan oleh rakyat di wilayah-wilayah tersebut akibat kegagalan Pemerintah dalam mensejahterakan mereka. Padahal, seperti di Aceh dan Papua, kekayaan sumberdaya alam sangat melimpah-ruah. Sayang, kekayaan itu lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang dan perusahaan-perusahaan asing.

Ketidakdilan ekonomi sebagai pemicu gerakan separatis ini juga pernah diakui sendiri oleh Pemerintah. Wapres Jusuf Kalla, misalnya, pernah menyatakan bahwa aksi separatisme di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Papua, Republik Maluku Selatan (RMS), dan masalah Poso Sulawesi Tengah yang belum selesai hingga sekarang serta masalah terorisme disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi. Karena itu, tegas Jusuf Kalla, kunci menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut adalah menciptakan keadilan ekonomi, dalam arti, kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia itu harus sungguh-sungguh terwujud. (Suarapembaruan.com, 23/11/05).


Solusi Islam

Karena akar persoalan separatisme adalah ketidakadilan ekonomi yang dirasakan sebagian besar masyarakat, maka jelas bahwa upaya menciptakan kesejahteraan dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat, sebagaimana juga disampaikan oleh Wapres Jusuf Kalla, adalah sangat penting. Persoalannya, bagaimana caranya agar upaya tersebut terwujud? Bisakah kita berharap pada sistem ekonomi kapitalis yang saat ini diterapkan oleh Pemerintah sendiri, bahkan dengan model yang sangat liberal? Tentu tidak. Pasalnya, sistem ekonomi kapitalis inilah yang justru menjadi akar dari seluruh ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, khususnya secara ekonomi. Contoh kecil dalam kasus PT Freeport di Papua. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kontrak Karya atau Contract of Work Area yang ditangani Pemerintah Orba yang serba korup telah mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.

PT FI pertama kali melakukan penambangan pada bulan Desember 1967 pasca-Kontrak Karya I (KK I). Lalu pada 1986 ditemukan sumber penambangan baru di puncak gunung rumput (Grasberg) yang kandungannya jauh lebih besar lagi. Kandungan bahan tambang emas terbesar di dunia ini diketahui sekitar 2,16-2,5 miliar ton dan kandungan tembaga sebesar 22 juta ton lebih. Diperkirakan dalam sehari diproduksi 185.000 s.d. 200.000 ton biji emas/tembaga. Karena itu, PT FI berhasrat lagi untuk memperpanjang KK I dan dibuatlah KK II pada Desember 1991, yang memberikan hak kepada PT FI selama 30 tahun dengan kemungkinkan perpanjangan selama 2X10 tahun. Ini berarti, KK II akan berakhir pada tahun 2021 dan jika diperpanjang, akan berakhir 2041.

Siapa yang menikmati hasil dari PT FI selama ini? Nyatanya sumbangan ke APBN hanya Rp 2 triliunan. Saham Pemerintah RI hanya 9,36%. Sisanya milik asing. Tentu yang mendapat “kue raksasa” ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan pertambangan ini. Menurut kantor berita Reuters (PR, 18/3 2006), empat Big Boss PT FI paling tidak menerima Rp 126,3 miliar/bulan. Misalnya Chairman of the Board, James R Moffet menerima sekitar Rp 87,5 miliar lebih perbulan dan President Director PT FI, Andrianto Machribie menerima Rp. 15,1 miliar perbulan. Pada saat yang sama, orang-orang Papua di sekitarnya banyak yang miskin, bahkan sebagiannya mengalami kelaparan!

Itulah hasil ketidakadilan yang diciptakan oleh sistem ekonomi kapitalis. Ironisnya, sistem ini justru tetap diterapkan oleh Pemerintah, bahkan saat ini dengan nuansa yang lebih liberal. Contohnya adalah kebijakan Pemerintah yang semakin proaktif dalam melakukan privatisasi (menjual) BUMN yang notabene milik rakyat dan menjadi sumber pemasukan negara.

Dalam Islam, jelas, kekayaan sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti minyak bumi, emas, perak tambaga dll dalam jumlah besar adalah milik rakyat; tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta, apalagi pihak asing. Negara juga hanya berhak mengelolanya—tidak boleh memilikinya—yang hasilnya sepenuhnya diserahkan kepada rakyat. Rasul saw. bersabda:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»

Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: hutan, air dan energi. (HR Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Karena itu, harapan yang pernah disampaikan Wapres Jusuf Kalla untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan ekonomi rakyat secara menyeluruh demi mencegah munculnya gerakan-gerakan separatis hanyalah sebuah harapan kosong jika Pemerintah sendiri malah melanggengkan sistem ekonomi kapitalis yang terbukti hanya menguntungkan segelintir orang, bahkan pihak asing, dan sebaliknya menyengsarakan mayoritas rakyat sendiri. Kesejahteraan dan keadilan ekonomi hanya mungkin diciptakan oleh sistem ekonomi Islam yang bersumber dari Zat Yang Mahaadil, Allah SWT.

Selain masalah kesejahteraan dan ketidakadilan ekonomi ini, jika Pemerintah konsisten dengan keutuhan NKRI, jelas Pemerintah harus mewaspadai setiap keterlibatan asing, terutama yang memanfaatkan gerakan-gerakan separatis di Tanah Air. Kasus lepasnya Timor Timur yang antara lain di-support oleh Australia harus menjadi pelajaran berharga. Pemerintah harus tegas terhadap berbagai manuver pihak asing, baik Amerika, Australia, dll yang memang telah lama mengincar Indonesia. Jangan sampai negeri ini terpecah-belah karena akan semakin memperlemah posisi Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim. Jika tidak, negara dan umat ini akan makin masuk dalam cengkeraman penjajahan asing. Ini haram terjadi pada umat Islam. Hendaknya sekali-kali Pemerintah merenungkan firman Allah SWT:

]وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاًَ[

Sekali-kali Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin. (QS an-Nisa’: 141).

Walhasil, gerakan separatisme harus dicegah, dan kesatuan umat Islam harus tetap dijaga! Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []


Komentar Al-Islam:

The Financial Times: sebagian besar negara Eropa memandang AS sebagai ancaman global ketimbang Iran dan Korea Utara (Hidayatullah.com, 03/07/07).

Artinya, negara “poros setan” yang pernah dituduhkan AS pada Iran dan Korea Utara lebih layak ditujukan pada AS sendiri!

No comments: