Saturday, July 28, 2007

MENIMBANG PARPOL, KAMPANYE, DAN PEMILU

Oleh Nida’ Khayr Abdurrahman


Partai adalah kelompok manusia yang memiliki pemikiran tertentu, memiliki ikatan antar anggotanya serta mempunyai seorang pemimpin yang memimpin kelompok tersebut. Ikatan mereka sendiri terbentuk dari ideologi dan sejumlah pemikiran—baik pemikiran administratif maupun pemikiran berkaitan ilmu sistem (an-nizhâm) dan derivatnya yang diadopsi bersama oleh setiap anggota—serta tujuan yang hendak diwujudkan melalui aktivitas jamaah.

Politik itu sendiri adalah pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat, baik dalam maupun luar negeri. Pengaturan dan pemeliharaan itu dilakukan dengan serangkaian aturan dan sistem. Jika politik menjadi sifat partai yang menyifati partai secara keseluruhan dan menjadi aktivitas utamanya maka partai itu merupakan partai politik yang sesungguhnya. Dengan demikian, parpol Islam adalah partai politik yang seluruh ide dan pemikirannya—mulai dari pemikiran mendasar (akidah), pemikiran cabang (aturan dan sistem), sampai pemikiran dalam tataran teknik operasional—bersumber dari Islam.

Dalam wacana al-Quran, partai (al-hizb) disebutkan dua kategori, yaitu partai (golongan) Allah (Hizbullâh) dan partai (golongan) setan (hizb asy-syaythân). Penyebutan al-Quran dengan dua term ini bukan dari sisi nama, tetapi dari sisi sifat, karena penyebutan kedua term ini diikuti oleh penjelasan karakter masing-masing kategori partai. Mereka yang termasuk hizb asy-syaythân adalah setiap orang atau kelompok (partai) yang telah dikuasai oleh setan dan setan menjadikan mereka lupa mengingat Allah. Mereka menjadikan kaum yang dimurkai oleh Allah sebagai teman; mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi manusia dari jalan Allah. Setan menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah, dan mereka termasuk orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.

Dengan demikian, partai setan adalah partai yang durhaka, membangkang, menyalahi kebenaran dan tuntutan dari Allah, mengkampanyekan kemaksiatan (setiap bentuk penyelewengan dari ketentuan Allah), dan menyeru manusia (umat) untuk berpaling dari jalan Allah. Di dalamnya termasuk pula partai yang menyerukan ide dan aturan (sistem) kufur.

Sebaliknya, yang termasuk Hizbullâh adalah mereka tidak berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, siapapun mereka; yaitu mereka yang mendorong manusia mengambil jalan Allah, mengajak pada ketaatan, serta menyerukan risalah aturan dan sistem yang diturunkan dari sisi-Nya untuk mengatur dan menyelesaiakan setiap problem manusia.

Dari sini kita dapat menyimpulkan, bahwa partai Allah (partai Islam) adalah partai yang berasaskan akidah Islam serta mengambil dan menetapkan ide-ide hukum-hukum dan pemecahan yang Islami. Metode operasionalnya adalah metode (tharîqah) Rasulullah.

Dengan demikian, justifikasi partai bukanlah dengan nama, tetapi kesesuaiannya dengan asas, karakter, dan aktivitas partai.

Kampanye Partai

Kampanye partai di negeri ini mulai menghangat menjelang Pemilu. Pasca Pemilu kampanye melemah dan nyaris berhenti. Terlihat bahwa kampanye partai dilakukan dalam rangka Pemilu saja. Dengan begitu, kampanye partai tersebut sarat dengan kepentingan sesaat partai, yaitu untuk pemenangan Pemilu. Dalam hal ini, menang Pemilu menjadi standar. Apalagi kampanye itu masih dalam bingkai sistem perpolitikan yang mengartikan politik sebagai segala hal-ihwal yang terkait dengan kekuasaan serta bagaimana memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya. Lahirlah kemudian materi kampanye yang melambungkan harapan umat akan kesejahteraan, kemakmuran, pemerintahan yang bersih, dan segudang kebaikan lainnya. Setelah kampanye, slogan-slogan itu pun tinggal kenangan. Nasib rakyat tetap menderita.

Akhirnya, rakyat menilai keberadaan parpol tidak membawa kemaslahatan bagi mereka. Hasil jajak pendapat Kompas memperlihatkan bahwa 74% responden yang berasal dari kota-kota besar di Indonesia menilai sejauh ini kegiatan kampanye tidak bermanfaat bagi kepentingan mereka, melainkan hanya menguntungkan segelintir elit parpol semata. (Kompas, 3/11/2003).

Aura primordialisme juga menjadi sangat kental, karena iklim kampanye yang tercipta bukanlah iklim saling mendukung, tetapi iklim persaingan di belantara kebebasan. Ketegangan antara pengurus partai dan bentrokan antar massa pendukung partai pun tidak jarang menjadi konsukuensi yang tidak terhindarkan.

Dalam bingkai sistem kapitalis dengan sistem politik demokrasi, partai yang vis a vis dengan demokrasi dan ideologi kapitalis dimarjinalisasi dan diberangus. Akhirnya, dalam Pemilu, hanya partai yang mengemban demokrasi atau minimal tidak mempermasalahkan demokrasi saja yang mendapat ruang. Akibatnya, kampanye partai di negeri ini dipenuhi dengan seruan ide kapitalisme, demokrasi, HAM, kebebasan, pluralisme dan ide sejenis. Partai-partai Islam pun merasa tidak afdhal kalau tidak menghiasai kampanyenya dengan seruan tersebut. Seruan Islam akhirnya dibingkai dengan demokrasi, HAM, kebebasan, pluralisme, dsb.. Padahal, semua itu justru berseberangan secara diametral dengan Islam.

Kampanye Islami

Al-Quran memberikan petunjuk mengenai kampanye yang seharusnya dilakukan dan diemban oleh partai. Allah menegaskan dalam firman-Nya:

]وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ[

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan Islam, memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran. (QS Ali ‘Imran [03]: 104).

Dengan merujuk pada ayat tersebut, maka kampanye partai tersusun dalam dua format kampanye:

Pertama, yad’ûna ilâ al-Khayr (menyerukan kebaikan), yakni Islam. Hal ini tentu tidak hanya sekadar mengkampanyekan nilai-nilai moral Islam, tetapi mengkampanyekan Islam secara keseluruhan—akidah Islam dan serangkaian aturan (sistem) Islam. Kampanye berupa seruan pada Islam ini, agar tidak bersifat semu, haruslah berupa kempanye menuju penerapan Islam secara keseluruhan. Tanpa itu, kampanye hanya akan menjadi pemberian informasi tentang Islam. Sebab, kampanye bukan hanya memberi informasi, tetapi mengandung unsur menyeru, mengajak, meyakinkan, dan menuntun masyarakat agar mengadopsi, mengemban, menerapkan, dan memberikan loyalilitas pada Islam; juga memuat aktivitas menyingkap keburukan selain Islam serta membantah dan meruntuhkan arumentasinya—misalnya terhadap kapitalisme, demokrasi, kebebasan, pluralisme, HAM, dan sebagainya.

Kedua, ya‘murûna bi al-ma‘rûf wa yanhawna ‘an al-munkar (memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran). Kemakrufan adalah segala yang dimakrufkan oleh Islam, yaitu segala yang di wajibkan, dianjurkan, atau yang dibolehkan oleh Islam. Sebaliknya, kemungkaran adalah segala hal yang menyalahi syariat. Partai harus mengkampanyekan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Sebagai bagian dari aktivitas ini dan yang terpenting adalah mengoreksi penguasa.

Kedua format kampanye inilah yang seharusnya diadopsi dan dilakukan oleh parpol yang ada, bukan format kampanye yang hanya berupa janji-janji palsu, slogan-slogan tanpa makna yang samar dan kabur dari gambaran penerapannya; juga bukan format kampanye ideologi, pemikiran, aturan, dan sistem kufur yang notabene bertentangan dengan Islam. Kampanye seperti ini hanya akan mengantarkan umat pada keterbuaian dengan mimpi-mimpi dan harapan yang sia-sia, yang akan mengembalikan mereka pada kekecewaan dan penderitaan yang berulang-ulang tanpa henti. Adakah parpol seperti ini ? sulit menemukannya.

.

Meluruskan Kepedulian

Merujuk ayat 104 surat Ali Imran di atas maka hendaknya kita secara jeli melihat kampanye setiap partai untuk dianalisis dan dinilai mana yang memenuhi format kampanye yang seharusnya menurut al-Quran.

Kepada parpol yang memenuhi kedua kriteria inilah (karakter kepartaian: asas, karakter, dan aktivitas; dan kriteria kampanye) yang layak mendapatkan kepedulian bahkan dukungan dan loyalitas. Sebaliknya, yang tidak memenuhi kriteria tersebut, tidak layak mendapatkannya bahkan harus di luruskan, ditentang, dan dibantah. []

Puisi

Assalamualaikum wr wb

Kata Salam terucap manis dari bibir yang mudah berkelu, dari lidah yang seringkali merintih, begitulah panggilan mesrakaum muslim sesama muslim.

Di pagi hari, Di siang hari, di malam hari

Setiap perjumpaan kaum termulia

Maka kalimat pertama yang terucap indah

Assalammualaikum wr wb

Langit-langit baik biru dan hitam

Semua tersenyum merekah manis

Melihat jawaban manis terucap

Wassalammualaikum wr wb

Kesejahteraan dan Keselamatan

Adalah doa dan harapan

Yang selalu ditengadahkan ke hadapan-Nya

Dan mengharapkan Kabulnya Doa salam dari-Nya

Kaum manakah yang tutur dan kata lebih indah dari ini ???

Bukan dengan Syaloom atau om santi...santiii

Ataupun dengan ucapan Goodbye atau Hello

Hanya Muslim . YA seorang Muslim .

Kewajiban bagi seorang muslim yang satu dan yang lainnya untuk menjawab salam dan menjadi ciri pembeda antara umat agama yang lain. Sungguh amat beruntunglah siapapun yang di dalam hatinya masih terbersik untuk mengatakan kalimat salam itu pada saudara-saudaranya.

Thursday, July 5, 2007

Al islam terbaru

BULETIN AL-ISLAM EDISI 362

Sebagaimana dimaklumi, ada dua peristiwa cukup mencolok mata dalam pekan-pekan terakhir ini, yang kedua-duanya terkait dengan gerakan separatisme. Pertama: peristiwa pengibaran bendera organisasi RMS (Republik Maluku Selatan) oleh sejumlah aktivisnya persis di hadapan Presiden SBY di tengah-tengah acara puncak Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XIV, yang dipusatkan di Lapangan Merdeka, Ambon, Jumat pagi (29/06). Diberitakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan dapat memaklumi adanya penyusupan acara lain di luar jadwal dalam Peringatan Hari Keluarga Nasional Ke-14 di Ambon, Jumat (29/6). Namun, toleransi tidak diberikan jika acara susupan itu memiliki tujuan separatisme yang mengoyak bangunan NKRI. Di Jakarta, Wapres Jusuf Kalla juga menilai aksi aktivis RMS itu sebagai bentuk pelanggaran yang harus dikenai tindakan hukum. Namun, menurut Wapres, kasus itu tidak akan berdampak besar. (Kompas.com, 30/07).

Kedua: peristiwa pengibaran bendera organisasi OPM (Organisasi Papua Merdeka) oleh sejumlah aktivisnya yang dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Abepura, Papua, dalam rangka HUT OPM (1 Juli 1969-2007). (Antara.co.id, 01/07/07).

Masih aktifnya gerakan separatisme di Indonesia jelas menimbulkan pertanyaan tersendiri: Mengapa gerakan separatisme muncul? Mengapa pula gerakan tersebut seolah sulit ditumpas?


Antara Separatisme dan Terorisme

Dari sudut pandang Pemerintah, tampaknya ada kesamaan antara kasus separatisme dan terorisme yang dalam beberapa waktu terakhir mencuat kembali, yakni sama-sama berbahaya. Dari sisi politik, separatisme dan terorisme juga disinyalir sama-sama kental dengan nuansa campur tangan asing. Dalam kasus terorisme, perang terhadap terorisme di Indonesia tidak lepas dari War on Terrorism yang dikumandangkan AS dan sekutunya untuk memperlemah Islam dan kaum Muslim. Adapun dalam kasus separatisme di Indonesia—seperti GAM, RMS dan OPM—keterlibatan pihak asing, seperti AS dan Australia, tidak terlepas dari kepentingan mereka untuk memecah-belah NKRI dalam rangka menguasai sumberdaya alam negeri ini yang sangat kaya. Masih segar dalam benak kita bagaimana peran aktif Australia dalam kasus lepasnya Timor-Timur dari pangkuan NKRI. Belakangan diketahui bahwa motif utama Australia dalam mensponsori kemerdekaan Timor Timur adalah Celah Timor yang ditengarai kaya akan minyak.

Sayang, meski sama-sama dianggap berbahaya, dan sama-sama melibatkan pihak asing, penanganan Pemerintah terhadap kedua kasus tersebut sangat berbeda. Jika dalam kasus tindak terorisme Pemerintah begitu sigap dan cenderung proaktif, terutama dalam menangkap para tersangka yang kebetulan semuanya Muslim, maka dalam kasus-kasus separatisme Pemerintah seperti lembek dan tidak berdaya. Dalam kasus terakhir ini, setidaknya hal itu didasarkan pada penilaian Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dien Syamsuddin. Ia menilai aksi pengibaran bendera RMS oleh “penari cakalele” di depan Presiden SBY itu merupakan kesalahan Pemerintah. Menurutnya, Pemerintah selama ini tidak bertindak tegas terhadap RMS. Menurut Dien, jika Pemerintah tetap melakukan pendekatan dengan cara yang halus dan penuh toleran, tidak mustahil RMS akan terus berkembang dan mengancam sendi-sendi keutuhan nasional, bahkan tidak menutup kemungkinan akan tumbuh gerakan separatis lainnya di Indonesia. (Tempointeraktif.com, 30/06/07).


Akar Masalah Separatisme

Jika dicermati, munculnya berbagai gerakan separatis di Indonesia seperti GAM di Aceh, RMS di Maluku dan OPM di Papua lebih disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi yang dirasakan oleh rakyat di wilayah-wilayah tersebut akibat kegagalan Pemerintah dalam mensejahterakan mereka. Padahal, seperti di Aceh dan Papua, kekayaan sumberdaya alam sangat melimpah-ruah. Sayang, kekayaan itu lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang dan perusahaan-perusahaan asing.

Ketidakdilan ekonomi sebagai pemicu gerakan separatis ini juga pernah diakui sendiri oleh Pemerintah. Wapres Jusuf Kalla, misalnya, pernah menyatakan bahwa aksi separatisme di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Papua, Republik Maluku Selatan (RMS), dan masalah Poso Sulawesi Tengah yang belum selesai hingga sekarang serta masalah terorisme disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi. Karena itu, tegas Jusuf Kalla, kunci menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut adalah menciptakan keadilan ekonomi, dalam arti, kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia itu harus sungguh-sungguh terwujud. (Suarapembaruan.com, 23/11/05).


Solusi Islam

Karena akar persoalan separatisme adalah ketidakadilan ekonomi yang dirasakan sebagian besar masyarakat, maka jelas bahwa upaya menciptakan kesejahteraan dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat, sebagaimana juga disampaikan oleh Wapres Jusuf Kalla, adalah sangat penting. Persoalannya, bagaimana caranya agar upaya tersebut terwujud? Bisakah kita berharap pada sistem ekonomi kapitalis yang saat ini diterapkan oleh Pemerintah sendiri, bahkan dengan model yang sangat liberal? Tentu tidak. Pasalnya, sistem ekonomi kapitalis inilah yang justru menjadi akar dari seluruh ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, khususnya secara ekonomi. Contoh kecil dalam kasus PT Freeport di Papua. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kontrak Karya atau Contract of Work Area yang ditangani Pemerintah Orba yang serba korup telah mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.

PT FI pertama kali melakukan penambangan pada bulan Desember 1967 pasca-Kontrak Karya I (KK I). Lalu pada 1986 ditemukan sumber penambangan baru di puncak gunung rumput (Grasberg) yang kandungannya jauh lebih besar lagi. Kandungan bahan tambang emas terbesar di dunia ini diketahui sekitar 2,16-2,5 miliar ton dan kandungan tembaga sebesar 22 juta ton lebih. Diperkirakan dalam sehari diproduksi 185.000 s.d. 200.000 ton biji emas/tembaga. Karena itu, PT FI berhasrat lagi untuk memperpanjang KK I dan dibuatlah KK II pada Desember 1991, yang memberikan hak kepada PT FI selama 30 tahun dengan kemungkinkan perpanjangan selama 2X10 tahun. Ini berarti, KK II akan berakhir pada tahun 2021 dan jika diperpanjang, akan berakhir 2041.

Siapa yang menikmati hasil dari PT FI selama ini? Nyatanya sumbangan ke APBN hanya Rp 2 triliunan. Saham Pemerintah RI hanya 9,36%. Sisanya milik asing. Tentu yang mendapat “kue raksasa” ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan pertambangan ini. Menurut kantor berita Reuters (PR, 18/3 2006), empat Big Boss PT FI paling tidak menerima Rp 126,3 miliar/bulan. Misalnya Chairman of the Board, James R Moffet menerima sekitar Rp 87,5 miliar lebih perbulan dan President Director PT FI, Andrianto Machribie menerima Rp. 15,1 miliar perbulan. Pada saat yang sama, orang-orang Papua di sekitarnya banyak yang miskin, bahkan sebagiannya mengalami kelaparan!

Itulah hasil ketidakadilan yang diciptakan oleh sistem ekonomi kapitalis. Ironisnya, sistem ini justru tetap diterapkan oleh Pemerintah, bahkan saat ini dengan nuansa yang lebih liberal. Contohnya adalah kebijakan Pemerintah yang semakin proaktif dalam melakukan privatisasi (menjual) BUMN yang notabene milik rakyat dan menjadi sumber pemasukan negara.

Dalam Islam, jelas, kekayaan sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti minyak bumi, emas, perak tambaga dll dalam jumlah besar adalah milik rakyat; tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta, apalagi pihak asing. Negara juga hanya berhak mengelolanya—tidak boleh memilikinya—yang hasilnya sepenuhnya diserahkan kepada rakyat. Rasul saw. bersabda:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»

Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: hutan, air dan energi. (HR Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Karena itu, harapan yang pernah disampaikan Wapres Jusuf Kalla untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan ekonomi rakyat secara menyeluruh demi mencegah munculnya gerakan-gerakan separatis hanyalah sebuah harapan kosong jika Pemerintah sendiri malah melanggengkan sistem ekonomi kapitalis yang terbukti hanya menguntungkan segelintir orang, bahkan pihak asing, dan sebaliknya menyengsarakan mayoritas rakyat sendiri. Kesejahteraan dan keadilan ekonomi hanya mungkin diciptakan oleh sistem ekonomi Islam yang bersumber dari Zat Yang Mahaadil, Allah SWT.

Selain masalah kesejahteraan dan ketidakadilan ekonomi ini, jika Pemerintah konsisten dengan keutuhan NKRI, jelas Pemerintah harus mewaspadai setiap keterlibatan asing, terutama yang memanfaatkan gerakan-gerakan separatis di Tanah Air. Kasus lepasnya Timor Timur yang antara lain di-support oleh Australia harus menjadi pelajaran berharga. Pemerintah harus tegas terhadap berbagai manuver pihak asing, baik Amerika, Australia, dll yang memang telah lama mengincar Indonesia. Jangan sampai negeri ini terpecah-belah karena akan semakin memperlemah posisi Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim. Jika tidak, negara dan umat ini akan makin masuk dalam cengkeraman penjajahan asing. Ini haram terjadi pada umat Islam. Hendaknya sekali-kali Pemerintah merenungkan firman Allah SWT:

]وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاًَ[

Sekali-kali Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin. (QS an-Nisa’: 141).

Walhasil, gerakan separatisme harus dicegah, dan kesatuan umat Islam harus tetap dijaga! Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []


Komentar Al-Islam:

The Financial Times: sebagian besar negara Eropa memandang AS sebagai ancaman global ketimbang Iran dan Korea Utara (Hidayatullah.com, 03/07/07).

Artinya, negara “poros setan” yang pernah dituduhkan AS pada Iran dan Korea Utara lebih layak ditujukan pada AS sendiri!

From kantor Jubir HTI

KANTOR JURUBICARA HIZBUT TAHRIR INDONESIA

Nomor: 116/PU/E/06/07; Jakarta, 27 juni 2007 M

PERNYATAAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA
TENTANG

Dukungan Terhadap Komisi I DPR RI untuk Menolak DCA
(Defence Cooperating Agreement)

Akhirnya Komisi I DPR RI dengan tegas menolak Perjanjian Kerjasama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) dengan Singapura. Perjanjian ini memang lebih tepat disebut perjanjian untuk memberikan hak latih bagi militer Singapura di wilayah Indonesia yang membentang antara Pulau Natuna Besar dan Kepulauan Anambas mengingat tidak satupun klausul yang membolehkan TNI berlatih di wilayah Singapura. Selama bertahun-tahun Singapura, negara kecil yang tidak memiliki area latih itu, terpaksa harus menyewa di sejumlah negara dengan harga yang sangat mahal. Dengan adanya perjanjian dengan Indonesia, Singapura tentu tidak perlu repot-repot lagi menyewa area untuk latihan militernya, karena Indonesia telah menyediakannya secara gratis.

Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa dalam penggunaan wilayah latihan itu (laut dan udara), Singapura bahkan bisa mengikutsertakan pihak ketiga, meski dengan terlebih dulu meminta izin Indonesia. Masalahnya adalah jika pihak ketiga itu adalah AS yang memang telah lama ingin berperan di wilayah ini. Dengan posisi pemerintah Indonesia terhadap tekanan AS selama ini terbukti sangat lemah bahkan tidak berdaya – sehingga tidak kuasa menolak permintaan itu, maka perjanjian itu praktis akan menjadi alat legitimasi untuk masuknya militer AS ke wilayah Indonesia dengan kedok latihan militer bersama. Memang, melalui perjanjian ini Indonesia dimungkinkan dapat ‘menikmati’ fasilitas militer Singapura. Namun, tentu hal itu tidak sebanding dengan bahaya keterlibatan pihak ketiga seperti AS di wilayah ini karena kehadiran AS di wilayah ini tentu mengancam kedaulatan Indonesia.

Apalagi telah lama diketahui, bahwa AS memiliki ambisi politik di kawasan Asia Tenggara. Berbagai upaya telah dilakukan AS. Diantaranya, pernah menawarkan diri untuk membangun pangkalan militer di kawasan Thailand Selatan dengan dalih ingin membantu menghancurkan gerakan militan Islam yang makin intens melakukan gerakan di wilayah Pattani yang memang didominasi muslim. Upaya AS untuk menghadirkan armada militer di kawasan itu tentu saja merupakan bagian dari grand strategy AS untuk mengontrol kawasan Asia Tenggara yang memang sangat strategis baik secara militer, politik maupun ekonomi. Namun, Malaysia dan Indonesia menolak rencana itu karena kedua negara tegas menentang setiap kehadiran militer asing manapun di Selat Malaka. Karenanya, AS yang telah melakukan kerjasama militer yang kuat dengan Filipina dan Thailand mencoba cara lain. Yakni lewat pemerintah Singapura, melalui perjanjian kerjasama pertahanan yang baru saja ditandatangani itu.

Oleh karena itu, penandatangan kerjasama pertahanan RI-Singapura alih-alih menguntungkan Indonesia, tetapi malah akan semakin menguatkan cengkeraman AS di kawasan Asia Tenggara, dan terhadap Indonesia khususnya. Jika demikian, berarti Indonesia telah secara sadar memberi jalan bagi masuknya kekuatan militer asing ke dalam wilayah Indonesia meski dalam area yang terbatas.

Berkenaan dengan hal itu, maka Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

  1. Mendukung sikap Komisi I DPR RI yang menolak perjanjian ini sebagai bagian dari kewajiban untuk melakukan muhasabah (kontrol) kepada pemerintah, yang memang diwajibkan oleh syariah. Selanjutnya Hizbut Tahrir Indonesia menyerukan kepada DPR RI tidak meratifikasi perjanjian itu, karena jelas berpotenti mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia.
  2. Menyerukan kepada para anggota DPR khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya untuk terus mencermati berbagai kecenderungan yang terjadi akhir-akhir ini yang makin menunjukkan ketundukan pemerintah RI terhadap kekuatan asing, mulai dari penyererahan blok kaya minyak di Cepu, pembiaran Exxon Mobil di blok kaya gas Natuna meski kontrak 25 tahun tanpa produksi sudah habis Januari 2007, hingga dukungan RI terhadap resolusi DK PBB Nomer 1747 tentang sanksi terhadap Iran dan perjanjian DCA dengan Singapura ini. Kecenderungan seperti ini jelas sangat berbahaya karena akan makin membawa Indonesia ke dalam arus kepentingan asing yang jelas akan membahayakan Indonesia kini dan masa datang.
  3. Sesungguhnya alasan utama perjanjian ini, selain paket perjanjian ekstradisi, adalah iming-iming penggunaaan peralatan militer Singapura yang canggih, karena keterbatasan peralatan militer Indonesia. Ini berarti perjanjian ini dibangun dengan logika ketidakmapuan Indonesia dan ketergantungannya kepada pihak asing. Logika pragmatis seperti ini tentu berbahaya. Padahal seharusnya, dengan sumber daya alam dan manusia yang melimpah, justru Indonesia mampu membangun industri berat, termasuk industri militer tercanggih sekalipun. Tetapi, semuanya itu disia-siakan, malah memilih jalan pintas, yang justru bisa mengorbankan kepentingan negeri dan rakyatnya sendiri.
  4. Karena itu, hanya dengan Khilafah yang menerapkan syariah, negeri ini benar-benar akan berdaulat, bebas dari penjajahan dan mempunyai kekuatan pertahanan dan militer yang tangguh. Karena, hanya sistem syariahlah yang bisa menjamin pemanfaatan sumber daya alam dan manusia yang melimpah demi kemaslahatan negeri dan rakyatnya.


Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net

Gedung Anakida Lantai 7
Jl. Prof. Soepomo Nomer 27, Jakarta Selatan 12790
Telp / Fax : (62-21) 8353253 Fax. (62-21) 8353254
Email : info@al-islam.or.id Websiite : http://www.al-islam.or.id/www.hizbut-tahrir.or.id